Cerpen


Penyalin Mimpi
AKU
Aku berkelahi dengan tuhan. Sudah sejak lama, setelah aku tersadarkan akan satu hal; kesempurnanku adalah luka. Otakku terus bekerja mencari alasan, kambing hitam dari semua kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Sampai kesimpulannya kudapat, semua karena tuhan. Karena ia menciptakanku dari sesuatu yang penuh kesempurnaan, dengan proses yang tanpa kecacatan, maka jadilah aku sempurna seutuhnya. Akulah kesempurnaan itu, akulah luka itu, perih itu, sesak itu.
Pada awalnya, aku adalah malaikat penghuni pelataran tuhan. Akulah sang penjaga altar pemujaan, suatu kedudukan terhormat. Kuanggap itu wajar karena aku sempurna. Tawaku bergema, mengiringi tasbih hari setiap fajar menyembul di timur. Senyumku sumringah mewarnai desau angin di senja kuning. Aku berdansa dengan waktu. Walau waktu selalu berubah, aku tetap tak terbataskan.
“Kau takkan merasa hakikat kesempurnaan…!” Suatu ketika waktu menegurku. “Tidak akan pernah, sampai kau mengerti tentang sesuatu yang berbeda.”
Aku tersenyum, lalu tertawa -seperti biasanya, tawaku adalah fajar di ufuk timur-. Waktu mendengus, merasa terhina karena tidak diperhatikan. “Kata-kataku akan menjadi nyanyian kematian untukmu…!” waktu berseru. Mendengar itu, angin terhenti, fajar pun kembali menarik diri; bias sinarnya cepat berlari lagi kembali ke timur.
“Apa katamu?” Aku terlecut. Hanya kali ini waktu terlalu lancang. Kupastikan dalam sekejap bahwa ia iri melihatku, ia dengki menatap kesempurnaanku.
“Aku lebih tua…!” Waktu menegaskan keberadaan dirinya, ketinggian martabatnya. “Aku mengetahui semua lebih banyak darimu.”
Aku tersenyum sinis. Senyumku memancarkan cemoohan. “Kau iri, sangat jelas dari matamu!”
“Iri untuk kesempurnaan palsu yang menyesaki ruang egomu? Jangan salah, aku mengetahui lebih. Semua pasti tercipta dua kutub. Takkan lengkap kesempurnaan tanpa ada kecacatan!”
“Kau meranyau.” Aku memunggunginya. Bergegas melakukan ritual merayu fajar untuk kembali, setelah keterlambatannya, ketakutannya.
waktu mengejarku, fajar mulai menampakkan kepalanya, waktu semakin dekat di belakangku, fajar mulai timbul dan menyungging senyum, waktu meraih jarakku, melampauiku, lalu, dengan sekali tebasan, dibunuhnya fajar. Cahaya kuning cerah itu memudar, gelap menyergap. Dingin.
Kami memasuki ruang peradilan Tuhan, tanpa ruang dan waktu. Kau tahu, titahnya tak terbantahkan. Aku menutup telinga, kesempurnaanku pudar di hadapannya. Aku abu-abu. Aku berada antara gelapnya hitam dan munafiknya putih[1]. Aku menghentikan sendiri nafasku. Kusapa akhirnya saja saat keputusannya menggema.
Detik keputusannya dibacakan, kegugupanku memuncak. Kutatap geram wajah waktu. Sepertinya, aku akan menerima hukuman untuk sebuah kesalahan yang bahkan tidak kulakukan. Kata-kataku akan menjadi nyanyian kematian untukmu…!. Huh, akan kubunuh waktu setelah semuanya usai. Agar kurasakan nikmatnya keadilan. Agar terbitnya hukumanku berdasarkan kesalahan.
Kulihat pembaca titah itu membuka gulungan kertasnya:
“Telah diputuskan hukuman-hukuman karena kesalahan fatal yang mereka -aku dan waktu-lakukan; membunuh fajar. Maka mereka terusir dari kita. Mereka tidak berhak mendapatkan keistimewaan seperti yang dianugerahkan kepada kita.”
Aku tertunduk. Waktu tersenyum, kemenangan seperti apakah yang sudah ia peroleh? Aku naif. Para algojo mendekati kami. Mula-mula waktu-kami dihukum terpisah- diseret menuju pintu yang tak tersentuh. Ia tertawa, menggelegar. “Kesempurnaan adalah hukuman untukmu….!” Teriaknya. Kutahu, teriakan itu untukku. Mereka semakin jauh, jauh, tak terlihat lagi. Berganti kabut.
Datanglah saatku. Aku tidak terima. Berteriak, kuhujat Tuhan: “Apa salahku? Pembunuhnya adalah waktu, bukan aku…!” Kata-kataku pedih menusuk hatiku sendiri. Semakin jelas kuingat, aku merayu fajar kembali, demi kebaikan makhluk. Berkelebat wajah hitam waktu. Fajarpun hilang. Tangisku menderai, airmata itu panas. Api memancar dari tubuhku, aku marah. Api mulai membakar, mula-mula dari pangkal sayapku, satu sayap terbakar. Kemudian dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, di kedua belahnya. Empat belas sayap. Hingga akhirnya, kesembilan puluh Sembilan sayapku terbakar karena kemarahanku sendiri. Aku membakar diriku.
“Kesempurnaan yang kutitipkan untukmu sudah kuambil kembali.” Aku kenal suara itu. Suara pertama yang menyambut senyum ke-adaan-ku. “Sebagai gantinya, kuberikan kau mimpi.”
Dari kursinya muncul sesuatu, yang, mungkin, disebutkan sebagai mimpi. Seperti Kupu-kupu. Sangat indah, ia terbang. Warnanya menghadirkan garis pelangi di sekelilingku. Ia mengajakku bicara, membisikkan utopia yang lain. Sesuatu yang tak pernah kujamah. Bisikannya, sepertinya mendekatkanku dengan kebenaran yang tersirat dalam kata-kata waktu. Aku terlupa kebiadabannya. Perlahan mimpi masuk ke dalam mataku, kurasakan nafasnya. Harumnya.
Aura mimpi menjalar cepat di aliran darahku, dengan sekejap darahku berubah menjadi dirinya. Kemudian jantungku dikuasainya, keempat biliknya. Seluruh organ yang menerima darah langsung berubah. Dari aorta menyebelah ke paru-paru. Lalu aku bernafas dalam angan-angan. Nafasku, nafas mimpi. Ia menyerbu otakku. Membunuh setiap penjaga kewarasannya. Otakku terdesak, hening sekejap. Seperti kota mati. Otakku kalah tanpa perlawanan. Kemudian bunyi berdentum, percik kembang api memenuhinya. Kemenangan mimpi. Mutlak ia menguasaiku. Tetapi aku masih merasa, otakku ada, walau denyutnya lemah jauh. Aku sadar, ia bersembunyi.
Tuhan melambaikan tangannya. Algojo-algojonya menyeretku. Menarikku dengan paksa ke tempat di mana tadi waktu menghilang, mungkin untuk selamanya, dari surga. Penuh kabut. Aku meronta, tetapi tangan-tangan kuat kekar para algojo membuatku melemah, kehabisan darah. Bukankah kesempurnaanku telah dicabut?
Di kejauhan, samar kulihat pintu yang tak tersentuh. Kabut berseliweran, menatap bingung sekaligus iba terhadapku. Bukankah aku penghuni pelataran Tuhan, penjaga altar pemujaan?
Kabut menyatu, semakin lama semakin banyak. Tambah tebal. Dingin perlahan menelusup di udara, dan hujan. Hujan membawaku kepada akhir kesempurnaan. Hujan mengantarkanku ke lembah penyesalan. Hujan tunjukkan akhirku di pintu yang tak tersentuh, hukuman Tuhan. “Hujan, kan kungat kau sebagai orchestra tangisan.” Aku dilempar ke luar.
*****
KAU
Aku mendapati diriku terbaring lemah di hadapanmu.
Kau tersenyum, panas bergemuruh di dadaku. Siluet wajah yang aneh. Apakah ini surga kedua ataukah rumah para peri?
Kau menyentuh kepalaku, membelainya lembut. Katamu “masihkah kau rasakan sakit?”
Aku terdiam, aku kehilangan kata-kata. Tidak ada lagi media untuk mengungkapkan rasaku. Kata-kata pun tidak pantas. Kutatap matamu, ia tertawa. Matamu tertawa. Kejernihannya membuatku takut. Tetapi, aku seakan merasa ditarik paksa menyelami kedalamannya, bening matamu.
Kau mengulangi tanya, masih dengan senyum itu: “Apakah masih sakit? Sudah kuobati memarmu, luka-lukamu. Tidak terlalu parah, cukup dengan dedaunan hutan.”
Aku masih terdiam, kutelusuri setiap lekuk wajahmu. Pahatan yang sempurna.
“Kau sepertinya terjatuh. Dikejar serigala?”
Lebih dari serigala, aku mengalami sesuatu yang mengerikan. Aku tetap terdiam. Hanya hatiku yang menjawab tanyamu. Kuharap kau mendengarnya.
“Akhir-akhir ini, serigala sering muncul. Melolong menantang bulan di setiap purnamanya, sampai sabit. Penduduk desa dicekam ketakutan. Desa kian suram. Serigala bisa saja membunuh kami, menjadikan kami makan malamnya.” Senyummu pudar.
Aku terus saja diselimuti diam, tetapi hatiku meronta. Kembalilah, kembalilah senyum itu. Jangan pergi dariku. Jangan tinggalkan aku dalam kelemahan lagi, beri aku nafas baru, kekuatan dari keajaibanmu.
Kau kembali menampakkan senyum.
Hueffftz, hatiku lega. Sepertinya kau mendengarku. Sepertinya kau memahamiku.
“Tetapi harapan itu akan selalu ada, kan? Semenjak kehadiranmu, kami semakin yakin bahwa kaulah akhir segalanya. Kaulah jawaban.”
Aku tidak mengerti maksud kata-katamu. Aku hanya menikmati senyum itu. Begitu indah, tak tergambarkan. Senyum itu menjadi obat sakitku; orang buangan, terusir dari altar Tuhan.
“Kau tidak menjawabku. Uuuh, mungkin kau seharusnya lebih banyak istirahat. Akan kuambilkan makan sebelum kau tidur.” Kau beranjak dari tempatmu, meninggalkanku.
Tidak, aku tidak ingin tidur lagi. Aku ingin selalu terjaga. Aku ingin menjaga senyum itu, pahatan wajah itu. Aku ingin selalu bisa memastikannya tetap di sana. Tak terkebiri. Sarat ketulusan. Aku teringat waktu. Aku tidak ingin ia memisahkan kita. Akan kubuat waktu mati, sampai ia terhenti.
Kau datang dengan semangkuk bubur putih. Tanpa wortel, tidak ada ayam, kerupuk, daun sop, bahkan mungkin bubur itu tanpa garam, tanpa vetsin.
“Coba buka mulutmu.” Ujarmu seraya menyodorkan sesendok bubur, kau menyuapiku. Dengan senang hati kurasakan bubur itu. Sangat enak.
“Enak?” tanyamu.
Aku menjawabnya dengan diam.
“Aku tahu jawabannya. Matamu mengatakan ya.” Kau tertawa. “Ayo makan lagi.”
Sendok demi sendok kau suapkan untukku sampai mangkok itu bersih. “Kau lahap makannya. Semoga cepat sembuh.” Ujarmu seraya berlalu.
Senyummu membuat rasa bubur itu sempurna, kelembutanmu adalah keinginanku untuk terus memakannya. Tetapi seperti halnya kesempurnaan itu luka, kau berlalu membawa senyummu. Aku berteman sepi.
***
Para algojo menyeretku dengan kasar. Jelas ketidakramahan tergambar di wajah sangar mereka yang tak bergeming ditampar hujan. Pintu itu semakin dekat. Akhirku sudah terbayang. Ada mimpi dan sejumput otak penjaga kewarasan yang bersembunyi.
Pintu semakin dekat. Aku memejamkan mata. Mencoba merasakan bisikan hujan yang mengingatkanku akan masa lalu saat aku masih memiliki kesempurnaan. Saat itu, aku yang menjaga altar Tuhan. Tawaku adalah fajar pagi, embun-embun yang mempertontonkan kebeningan dirinya. Senyumku, kebahagiaan yang berhimpun di kala senja sampai mega merah mentasbihkan hadirnya.
Aku meluncur deras di sesela helai hujan.
Di tempat yang tak kukenal:
Sayapku yang sudah hangus terbakar, patah. Darah mengalir deras. Mataku bengkak, begitu juga seluruh tubuhku. Aku dipukuli meteorid. Dan sampai di tempat ini; tebing berbatu runcing. Aku remuk. Sayup kudengar gemuruh longsor. Di kejauhan, batu-batu berguguran. Bergelindingan ke arahku. Aku mencoba berdiri, sangat payah. Tulangku gemertuk. Sendi-sendiku lepas. Aku jatuh sebelum bisa berdiri utuh. Kulihat jurang menganga di sampingku. Jurang itu, mulutnya tidak sabar untuk melumatku.
Batu-batu sudah di depan mataku, sangar. Semakin dekat. Tanganku mencoba meraih sesuatu, apapun, asal aku bisa bertahan. Asal ada pegangan. Tanganku menggapai sesuatu, aku berusaha menggenggamnya kuat, tetapi aku terlalu lelah. Peganganku melorot. Aku jatuh ke jurang itu setelah batu-batu menghantamku.
Aku merasakan diriku tak lagi nyata.
Lama gelap menelanku. Setelah cahaya, aku mendapati diriku terbaring lemah di hadapanmu.
***
Sore itu, limabelas desember penghujung musim hujan. Tetapi sudah sekian lama hujan tidak juga turun. Dinginnya tak kunjung menyapa bumi, menguapkan aroma tanah yang khas. Sore itu, matahari sudah lelah berpijar, membakar. Jauh di utara, segumpalan awan hitam pekat menuju kami. Sore itu, kau duduk di samping dipanku, tempatku terbaring lemah. Kau baru saja mendongengkanku tentang Dewi Bulanyang memberikan jiwanya untuk seorang manusia; pelaut yang selalu melantunkan syair untuknya.
“Dan Dewi Bulanpun turun dari tahtanya. Menjemput pelaut, menantang takdir. Awan membentuk lingkaran di sekelilingnya, bermacam bias warna. Pelaut itu mengapung bersama sekeping papan dari pecahan kapalnya. Matanya sayu. Energinya terkuras habis menantang ombak. Ia terus berusaha meskipun ia tahu, sejauh manapun batasan kekuatan yang dimilikinya, ia tetap akan kalah. Sekarang, pelaut itu menunggu takdirnya. Menunggu nyanyian kematian untuknya. Saat nyanyian itu hampir habis, pelaut merasa sentuhan lembut di dahinya. Nafas baru menjalar di rongga dadanya, darah dan energy memenuhi tubuhnya. Lalu di buka matanya. Ia melihat hujan, ia melihat dewi bulan.”
Aku bertanya  -karena saat itu aku sudah bisa bicara- “Lalu, apa yang terjadi dengan mereka? Malam tentu gelap, bulan meninggalkan tahtanya.”
Kau pun menjawab “Pelaut itu melihat Dewi Bulan tersenyum manis. Sangat ingin ia merengkuhnya, tiba-tiba darah mengalir dari pucat wajah dewi bulan. Membasahi gaun satinnya. Memerah darah. Tangisan dewi bulan, tangisan darah. Pelaut mencoba meraihnya tetapi tak tergapai. Dewi Bulan hanya bayang. Pelaut berteriak sejadinya, menantang langit. Kepedihan terbayang di awal hidup barunya, mungkin sampai akhir. Ia terluka melihat kekasihnya menderita; Dewi Bulan.”
“Lalu?” aku masih berselimut tanya. Bukan dongeng yang menyenangkan.
“Lalu Dewi Bulan menghilang dari jangkauan mata pelaut. Meninggalkannya sendiri berteman perih. Hujan masih saja turun tetapi semakin reda. Malam pekat. Pelaut menenggelamkan dirinya.” Kau mengakhiri dongengmu.
“Ah, pelaut yang bodoh. Sia-sia jadinya pengorbanan Dewi Bulan.” Aku bersungut.  Aku masih belum bisa bergerak. Hanya bicara dan menatapmu saja.
“Pelaut tidak bodoh. Ia hanya tidak tahan dengan luka. Ia menjemput mimpinya.”
“Tetapi Dewi Bulan akan menyesal memberikan jiwanya.”
“Bukankah sangat sakit melihat orang yang kau sayangi menderita?”
“Pelaut itu seharusnya lebih bisa menghargai pengorbanan!”
“Pelaut itu hanya ingin cepat-cepat mereguk manisnya cinta; bertemu kekasihnya.”
Awan gelap dari utara hadirkan tetes-tetes hujan. Saat melihatnya, senyummu merekah. Kau melonjak kegirangan. Kulihat pancaran matamu begitu bahagia. Kau meraih tanganku.
“Aaarrrgh…”
“Maaf.” Kau membetulkan lagi posisiku. “Aku terlalu semangat.” Senyummu pudar.
Aku memaksakan senyum walau sakit menjalar di tubuhku. “Tidak apa-apa.” Aku tak ingin senyummu hilang.
“Hujan adalah bagian dariku. Kami saling melengkapi. Mari kukenalkan kau dengannya.”
Aku mengintip hujan dari jendela. Kau bergegas ke luar. “Seandainya kau bisa berdiri, kita akan menyentuh hujan bersama…” teriakmu di sela orchestra hujan.
Kau meraih tangan hujan, mengajaknya berdansa. Buncahan rindu yang terpendam di balik binar-binar asa. Pertil rasa yang jauh menelusup relung hatimu. Aku teringat akan sebuah tangisan. Malam ini mungkin akan purnama.
Kaulah perempuan pencinta hujan[2]. Langsung kusimpulkan sebuah anggapan dasar yang ternyata salah. Hujan memang terus turun sepanjang siang selama malam, tidak lebat. Hanya gerimis. Setelah purnama, kau menjadi seseorang yang lain. Tidak pernah lagi kau kulihat bercanda dengan hujan. Dari balik jendela, aku hanya memandangi hujan yang sendiri, kesepian. Ia menunggu seorang teman yang sontak menghilang. Hujan menangis. Kau memang kadang menjengukku, tidak sesering dulu. Hanya untuk mengantarkan semangkuk bubur atau secangkir kopi. “Kau harus bisa melakukannya sendiri.” Ujarmu. Kau tidak lagi menyuapiku. Tidak lagi menegakkan kepalaku untuk minum. Aku kehilanganmu.
Bulan semakin sabit. Malam itu saat kau datang membawakan sepiring nasi aking. Ya, nasi aking. Bukan lagi bubur. Pintu diketuk halus. Kau membukanya. Aku melihat siluet wajah itu sekilas. Seorang laki-laki dengan tinggi menjulang dan mata serigala. Ia membawamu keluar. Sayup kudengar celoteh manjamu, tawamu cekikikan. Aku melihat luka menganga di hatiku. Dadaku sesak.
Kubasuh luka, setiap datang suaramu dalam ruang kelamku
Luka itu tertawa, berdansa; hadiah untuk setiap pertemuan kita
Dengan mulut terkunci, hanya hati dan hati
Penghiatanan, aku dan kau gambarkan bagai hujan yang menampar gelap malam itu
Saat kau pergi menyeret hatiku yang berlumut dengan senyummu
Hilang; tak pernah kuingin aura itu datang lagi, tetapi kadang hinggap begitu saja
Aku remuk, kau kubiarkan melaut……
Dan mulai saat itu, aku berkelahi dengan Tuhan. Ia yang berikanku mimpi. Hadirkan harapan berbuah cinta. Cinta menyayatku dengan pisau di balik sayapnya. Cinta hadiahkan aku luka.
CINTA
Kau menyalin mimpi-mimpiku
di daun-daun gugur menyapa tanah yang kemudian membuatnya membusuk
di dinding-dinding kamar yang mencekik leherku sampai aku kehabisan nafas,
tetapi tetaplah nafas terakhirku kupersembahkan untuk tawamu di kala hujan
menetesi luka-lukaku yang kembali terkoyak sebelum kering.

Bukankah kau yang berikan aku harapan tentang sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Puncak kesempurnaan. Kau genggam hatiku dengan tangan penuh duri. Kau buka kembali luka yang memenuhinya. Lukaku adalah egoku. Lukaku adalah tawamu bersamanya. Tetapi aku skizofrenia. Kau terlalu sempurna. Sempurna itu luka. Luka itu yang berikanku kekuatan untuk memaafkan segala kesalahanmu dalam sekejap saja saat senyummu tulus teruntukku. Ataukah itu cinta?
kau mendongengkanku tentang utopia, rumah cinta yang menyandera
setiap tetes darahku
meluluhkan egoku sampai titik nadir dimana aku kehilangan makna kata-kata.

Kau yang merenggut kewarasanku. Tak ada lagi gelepar penjaga kewarasan yang bersembunyi. Ia mati, tak terdeteksi. Mimpi hadiah Tuhan menjadi raja dalam bentuknya yang lain. Ada dunia, yang begitu indah penuh tawa, dalam diriku. Tak ada waktu, dindingnya adalah senyummu. Aku menjadi dirimu. Aku adalah kau. Inikah cinta?
Melihatkah kau saat aku terhempas di batu-batu karang, ditampar oleh ombak
Hanya ada orkestra camar yang menjemukkan di beranda telingaku sampai aku ditidurkan  oleh tangis pantai dan terbangun lagi di dunia yang tak ku kenal.

Setelah rasa aneh itu muncul, aku kalah. Aku menjadi romusha. Aku terbuang dari duniaku sendiri, ataukah aku yang meninggalkan duniaku untuk menjemputmu. Terlalu besar resiko yang kuambil untuk sesuatu yang tak pasti. Bukankah kau hanya harapan? Dan dunia yang kutinggalkan adalah kenyataan.
Semua terbukti bahkan saat aku baru saja memulainya. Aku menapaki ruang yang aneh, tetap tanpa waktu. Karena waktu adalah musuhku. Aku tak terbataskan. Tetapi denganmu, aku menjadi batas. Aku terhempas. Aku mencoba bangkit, dengan segenap kekuatan. Ternyata di sini tak perlu kekuatan itu. Aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku mungkin  akan tamat di sini. Aku sadar, ini dunia yang samasekali tidak ramah. Selebihnya akan menjadi gelap. Benarkah ini miracle cinta?
Maukah kau menjengukku barang sedetik, Saat itu….
Karena kau harusnya tau, hadirku untukmu
sekalipun kau menjauh

Bulan sabit kedua itu kembali purnama. Itulah kau; Dewi bulan. Laki-lakimu adalah serigala. Aku tertinggal bersama hujan. Aku menjadi hujan. Akulah hujan. Akulah tangisan.

Sabtu (020110. 1204)
Untuk dy. Terimakasih untuk sebuah kesalahan



[1] Lan fang. Perempuan abu-abu
[2] Rama Dira J. hujanlah yang membawaku kepadamu.

1 komentar:

Agus Riwanda mengatakan...

cerpen pertama yang coba-coba kukirimkan ke redaksi Horison. Alhamdulillah dimuat, edisi november 2011

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost